Rabu, 13 Mei 2015

Tulisan Lama 2

                Perdebatan akan selalu muncul dalam berbagai bidang. Stagnansi dan perubahan adalah dua faktor penyebabnya, ketika suatu keadaan bergumul dengan bentuk yang itu-itu saja, atau ketika penerobosan konvensi dilakukan oleh suatu pihak. Pada akhirnya, tekanan yang datang merupakan sebentuk ujian yang secara tidak formal menjadi legitimasi terhadap suatu pencapaian ke arah yang lebih baik atau sebaliknya. Dalam hal ini, perfilman indonesia telah mengalami kedua faktor tersebut. Di mana kritik yang datang bukan hanya tertuju pada penyajian cerita, namun juga pendistribusiannya.
Berbagai cara telah diupayakan, baik dari pihak si pembuat film, pemerintah, hingga importir-importir yang mau tidak mau ikut berkontribusi dalam kemajuan perfilman indonesia karena aturan yang dibuat, diduga tidak memberikan dampak yang signifikan bagi kemajuan bidang tersebut. Lalu, apalagi yang semestinya dilakukan? Baiklah, sebelum sampai pada jawaban untuk pertanyaan tersebut, ada baiknya kita lihat dahulu sejarah film indonesia dari mulai diproduksinya darah dan doa yang dinobatkan sebagai tonggak perfilman indonesia. Tulisan ini akan dibagi ke dalam beberapa periode yang pada akhirnya menjadi bahan pertimbangan atau mungkin sekadar refleksi bagi kita untuk menyikapi kondisi perfilman indonesia saat ini.
Alienasi di Negeri Sendiri
Tahun 1950, Usmar Ismail yang disebut sebagai bapak perfilman indonesia, membuat film yang merepresentasikan indonesia. Film itu diberi judul Darah dan Doa. Sederhana, film ini dikatakan sebagai tonggak karena cerita yang diangkat merupakan kisah perjalanan tentara nasional indonesia yang berhasil melawan Belanda. Di mana corak nasionalisme ditampilkan sebagai tema utama. Namun, tak lebih dari dua dasawarsa setelah film ini lahir, globalisasi menerjang masuk. Film-film barat, india, dan cina menancapkan gadingnya dan mendominasi selera masyarakat Indonesia. Sebut saja AMPAI (American Motion Pictures Association in Indonesia) sebagai salah satu perhimpunan yang sangat deras dalam melakukan invansi dan menelusupkan propaganda Amerika ke Indonesia melalui film. Keadaan demikian membuat gelisah para sineas Indonesia yang pada saat itu baru mulai meniti karir setelah terbebas dari intervensi asing dalam mengatur isi cerita yang disajikan. Kemudian, timbulah inisiatif dari para sineas lokal untuk memulai suatu gerakan yang mengusung tema “Film Indonesia Menjadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri, yang dipimpin oleh Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik. Keduanya mendirikan perusahaan perfilman masing-masing, yakni Perfini oleh Usmar dan Persari oleh Djamal.  Gerakan ini pun nyatanya tidak bertahan untuk waktu yang lama. Usmar dan Djamal dengan segala kekuatannya roboh secara perlahan-lahan, setelah usaha yang dilakukan tidak banyak berpengaruh. Misbach Yusa Biran yang dikenal sebagai bapak sinematek indonesia mengatakan, bahwa periode Usmar Ismail dibagi menjadi tiga. Pertama, periode Usmar yang tidak berkompromi dengan komersilaitas. Kedua, periode Usmar yang banyak melakukan kompromi karena bangkrut, namun tetap mempertimbangkan prinsip awalnya. Dan terakhir, periode Usmar yang terseret-seret dalam dunia film.
Dari perbenturan masalah di atas, terbukti bahwa penciptaan film tidak bisa lepas dari faktor modal. Berbeda dari seni lainnya, penciptaan film memerlukan materi yang tidak sedikit. Uang berperan penting dalam kontinyuitasnya. Dengan demikian, film tidak bisa dipisahkan dari segi industri. Dalam keadaan yang menuntut itu , muncul berbagai dilema dalam karya seni jenis ini. Karena uang harus kembali menghasilkan uang, bukan hanya tontonan semata, maka para pegiatnya pun mulai menekan hasrat dalam karyanya, dan mengikuti pemilik modal, yang biasanya ingin mendapatkan profit secepat mungkin. Jika sudah mengikuti arus tersebut, orang yang jenius dalam bidangnya sekalipun akan berubah menjadi bodoh karena apa yang telah ia kuasai disisingkan ke dalam ‘lemari’, umpamanya.
Pada tahun 60-an pemerintah pun ikut berkontribusi dalam memajukan perfilman indonesia. Hal itu dibuktikan dengan adanya kebijakan SK Menpen no.71/SK/M/1967 yang menetapkan bahwa setiap film impor wajib memberikan sumbangan sebesar Rp.250.000 untuk mendanai produksi film nasional. Namun, materi pada kenyataannya tidak pernah bisa menjamin kelancaran dari tujuan awal. Kebijakan tersebut malah membuat permasalahan baru, yakni penurunan kualitas dari film lokal karena berkejaran dengan jumlah produksi minimal dalam satu tahun. Penurunan itu terjadi baik dari segi estetik, artistik, hingga kerangka cerita.

Walaupun demikian, setiap usaha dalam rangka mencari kemajuan sedikit atau banyak pasti memberikan kontribusi yang positif pula. Kegagalan-kegagalan yang dipaparkan di atas merupakan babak yang berbeda dari sebelumnya. Ikhtiar yang telah dilakukan oleh Usmar menjadi contoh, bahwa sineas lokal tidak perlu merasa inferior dengan hadirnya film asing di tanah sendiri. Gerakan yang dibangun oleh Usmar dan Djamal, serta kebijakan pemerintah ini pun pada kenyataannya memberikan implikasi terhadap sineas-sineas lain pada waktu itu. Asrul Sani, Teguh Karya, Nya Abbas Akup, Wim Umboh, Sjuman Jaya, Ami Prijono, Arifin C Noer adalah beberapa nama yang hadir di pertengahan jalan gerakan tersebut. Mereka muncul dengan gayanya masing-masing. 

Tulisan Lama

Aku ingin membeli..kamu ingin membeli
Kita ingin membeli...semua orang ingin membeli
Apa yang dibeli...mimpi yang terbeli...
Sebab harga barang tinggi..
Tiada pilihan selain mencuri..

Iwan fals menciptakan lagu itu mungkin ketika mabuk. Ketika sekelilingnya tengah berubah menjadi toko mainan, yang di kiri kananya ada seorang anak sedang mendorong kulit jeruk bali sebagai pelipur lara. Tapi, toh lagu itu bisa mencuat. Sebab, kita pun merasa, bahwa apa yang ada dalam lirik lagu itu, merupakan sebuah refleksi yang datang dari keseharian. Kita berlomba-lomba untuk mencari uang, sedikit atau banyak, yang akan habis juga kita pakai untuk keinginan-keinginan sementara. Keinginan untuk hidup mewah, keinginan untuk hidup dihormati, dan keinginan untuk hidup yang pasti. Tapi, sebuah kepastian di sini akan selalu diidentikkan dengan angka-angka.  Semua saling menilai, mengukur, mencari-cari, mana yang bisa menghasilkan nominal. Sampai akhirnya kita lupa, bahwa hidup adalah rangkuman dari ketidakpastian. Di saat kita meyakini sesuatu pun, sebenarnya adalah pembenaran, atau mungkin penawar bagi kecemasan-kecemasan kita yang amat sering bertandang ke dalam pikiran kita.
Sastra, menjadi bagian dari hal-hal yang tidak pasti tersebut. Orang-orang memandang, bahwa membaca sastra hanya membuang waktu, tidak dapat menghasilkan sesuatu yang konkret. Sesuatu yang dapat dibawa untuk dipamerkan kepada tetangga atau keluarga. Sebagai contoh, saya yang berkuliah di jurusan Sastra Indonesia kerap dihantam dengan pertanyaan, seperti: Kok, ngambil Sastra Indonesia, sih, nanti susah,lho, nyari kerjanya, gak bisa dipake buat nyari uang. Dan senyum mungkin jawaban yang paling ampuh untuk menghentikan pertanyaan-pertanyaan menjengkelkan tersebut.
Hidup tidak sepenuhnya jasmani yang dapat dicukupi oleh materi. Ada rohani yang makin ke mari makin dilupakan eksistensinya. Rohani yang kita tahu selama ini seperti barang antik, yang hanya dapat dibeli oleh momen-momen tertentu saja. Tidak setiap waktu merubungi pikiran kita. Padahal, rohani yang kita punya esensinya ialah dorongan untuk mewujudkan kesadaran, terhadap apa pun itu. Dan tentunya, sadar untuk hal-hal yang baik. Salah satu cara untuk mencukupi kebutuhan rohani ialah melalui sastra. Dari sastra kita dapat membentuk karakter yang kuat, yang dapat memilah mana yang baik dan benar, karena hidup bukan hanya urusan untuk bertahan siapa yang lebih lama bernapas dan lebih banyak barang untuk dipajang. Memelajari sastra sama dengan memelajari kehidupan. Di dalamnya terkandung nilai moral, estetika, etika, dan perenungan-perenungan yang hakikatnya dibutuhkan oleh rohani manusia.
Saat ini, kita sering mendengar korupsi, pencurian, pembunuhan terjadi di mana-mana. Hal tersebut terjadi karena proses dehumanisasi dan dekadensi dalam masyarakat . Ya, proses itu terjadi karena orientasi kita dengan materi menjadi surplus sekarang ini. Moral hanya menjadi wacana yang tidak ada habisnya kita perbincangkan, tanpa penerapan. Kita kumpulkan uang sebanyak-banyaknya tanpa kenal batas. Harta ditimbun, bagi orang-orang yang memiliki kekuasaan. Atau yang tidak memiliki kekuasaan, bisa merampoknya ke orang-orang yang sedang lengah pada suatu waktu. Anggapan mengenai materi ini yang sebenarnya harus kita tanggalkan.
Jika kita berkaca pada kondisi sekarang ini, eksistensi sastra di Indonesia masih bergerilya. Komunitas-komunitas belum mampu untuk menciptakan iklim yang ramah antara sastra dengan masyarakat luas. Publik masih enggan atau mungkin ragu untuk mengenal sastra lebih dalam. Mereka takut jika tidak dapat memahami atau mengkritisi suatu karya sastra. Mereka juga masih beranggapan, bahwa sastra tidak dapat menghasilkan uang.
Komunitas-komunitas sastra tidak sepenuhnya salah dalam hal di atas. Hanya saja, diperlukan pengenalan sastra yang lebih intens ke masyarakat, bahwa sastra tidak seburuk apa yang dibayangkan. Sastra memiliki fungsi, dan bukan sekadar sesuatu yang niskala. Selain itu, dibutuhkan perluasan untuk ruang apresiasi. Karena pada dasarnya setiap manusia ingin dihargai oleh sesamanya, maka apresiasi merupakan jantung bagi kontinyuitas suatu karya. Acara-acara yang diadakan oleh DKJ, seperti sayembara menulis, mesti dibuat kembali. Ruang kompetitif perlu dibentuk sebagai upaya untuk memperteguh kebanggaan dan ketekunan berkarya. Selanjutnya, acara-acara seni bisa dimasukkan dalam acara-acara urban, seperti kemarin misalnya, pemerintahan Jokowi yang mengadakan pesta rakyat dan mengangkat budaya-budaya betawi. Hasilnya, acara itu tidak seburuk apa yang kita kira. Animo yang datang sangat besar. Inovasi lain juga bisa kita ciptakan melalui tren sekarang ini. Permainan dan aplikasi di dalam gadget bisa kita gabungkan dengan hal-hal yang sifatnya budaya dan seni. Game icon pop quiz yang menebak wajah para tokoh dunia, bisa kita dekonstruksi menjadi wayang, gerakan tarian dengan simbol-simbolnya. Memang, dibutuhkan pengorbanan untuk semua itu. Kita tidak bisa mengemis perubahan dari pemerintah, yang tengah sibuk memikirkan cicilan mobil atau rumahnya. Usaha-usaha untuk melestarikan budaya dan seni perlu dimulai dengan independen. Pekerja seni jangan terlalu lama memetakan masalah dan mencari solusi serta konklusinya, yang pada akhirnya memakan seluruh energi. Realisasi itu sangat penting sekarang ini.

Mungkin, dengan mempelajari sastra dan seni lain, kita bisa menghindar dari lirik lagu Iwan fals di bagian akhirnya…

Hari-hari kita isi hasutan
Hingga kita tak tau diri sendiri.


























Kamis, 07 Mei 2015

setidaknya, mencoba produktif.

Akhirnya saya mencoba untuk menulis lagi, setelah sekian lama tidak melakukan apa-apa karena urusan akademik yang sebenarnya juga tidak dikerjakan, hanya dipikirkan. Dalam postingan kali ini sebenarnya saya tidak tau akan menulis apa, tetapi yasudahlah ikuti saja kemana ujungnya. Bukankah kita sudah terbiasa mengikuti, dan lupa, atau mungkin mafhum atas rencana yang seringkali tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan?

Terbiasa.
Sangat klise memang kalau ada yang mengatakan, "ah nanti juga biasa aja kan udah sering." tapi pada kenyataannya, hal-hal yang klise itulah yang tetap hidup. tetap diimani, tetap diolah kembali. Yang dimaksud terbiasa di sini adalah dari semua segi. Tidak menutup kemungkinan mengenai iman. Apa yang kita anggap sulit, susah, menjijikan mungkin pada suatu saat bisa hilang. Terpujilah Tuhan yang memberikan empat belas panca indra yang mudah beradaptasi. dan terkutuklah Galileo yang mengatakan ukurlah apa yang dapat diukur dan buatlah agar dapat diukur sesuatu yang tidak dapat diukur.
kita  bisa terbiasa melihat mayat. kita bisa terbiasa makan tahi. kita bisa terbiasa memperkosa, kita bisa terbiasa menjadi orang soleh. kita bisa terbiasa menjadi orang yang keji. Kita bisa terbiasa untuk menemukan dan kehilangan. kita bisa terbiasa dengan hal hal yang biasa dan luar biasa. dan tetap terkutuk galileo, karena apa yang terukur itu kelak menjadi patokan untuk mengingat hal hal yang sudah kita lewati dan membuat masalah di saat itu juga.

Minggu, 12 April 2015

Dekonstruksi Sapardi

Yang fana adalah janji, kita abadi.
memungut kata demi kata, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita tidak lupa untuk apa
"tapi yang fana adalah janji, bukan?"
tanyamu.
kita abadi. 


1.

Puisi lahir dari kekosongan
menjelma tubuh
yang diberi nama
menjelma suara,melipur hampa.