Perdebatan akan selalu muncul dalam berbagai bidang. Stagnansi
dan perubahan adalah dua faktor penyebabnya, ketika suatu keadaan bergumul
dengan bentuk yang itu-itu saja, atau ketika penerobosan konvensi dilakukan
oleh suatu pihak. Pada akhirnya, tekanan yang datang merupakan sebentuk ujian
yang secara tidak formal menjadi legitimasi terhadap suatu pencapaian ke arah
yang lebih baik atau sebaliknya. Dalam hal ini, perfilman indonesia telah
mengalami kedua faktor tersebut. Di mana kritik yang datang bukan hanya tertuju
pada penyajian cerita, namun juga pendistribusiannya.
Berbagai
cara telah diupayakan, baik dari pihak si pembuat film, pemerintah, hingga importir-importir
yang mau tidak mau ikut berkontribusi dalam kemajuan perfilman indonesia karena
aturan yang dibuat, diduga tidak memberikan dampak yang signifikan bagi
kemajuan bidang tersebut. Lalu, apalagi yang semestinya dilakukan? Baiklah,
sebelum sampai pada jawaban untuk pertanyaan tersebut, ada baiknya kita lihat dahulu
sejarah film indonesia dari mulai diproduksinya darah dan doa yang dinobatkan
sebagai tonggak perfilman indonesia. Tulisan ini akan dibagi ke dalam beberapa
periode yang pada akhirnya menjadi bahan pertimbangan atau mungkin sekadar
refleksi bagi kita untuk menyikapi kondisi perfilman indonesia saat ini.
Alienasi di Negeri Sendiri
Tahun
1950, Usmar Ismail yang disebut sebagai bapak perfilman indonesia, membuat film
yang merepresentasikan indonesia. Film itu diberi judul Darah dan Doa.
Sederhana, film ini dikatakan sebagai tonggak karena cerita yang diangkat
merupakan kisah perjalanan tentara nasional indonesia yang berhasil melawan
Belanda. Di mana corak nasionalisme ditampilkan sebagai tema utama. Namun, tak
lebih dari dua dasawarsa setelah film ini lahir, globalisasi menerjang masuk. Film-film
barat, india, dan cina menancapkan gadingnya dan mendominasi selera masyarakat
Indonesia. Sebut saja AMPAI (American Motion Pictures Association in Indonesia)
sebagai salah satu perhimpunan yang sangat deras dalam melakukan invansi dan
menelusupkan propaganda Amerika ke Indonesia melalui film. Keadaan demikian
membuat gelisah para sineas Indonesia yang pada saat itu baru mulai meniti
karir setelah terbebas dari intervensi asing dalam mengatur isi cerita yang
disajikan. Kemudian, timbulah inisiatif dari para sineas lokal untuk memulai
suatu gerakan yang mengusung tema “Film Indonesia Menjadi Tuan Rumah di Negeri
Sendiri, yang dipimpin oleh Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik. Keduanya
mendirikan perusahaan perfilman masing-masing, yakni Perfini oleh Usmar dan
Persari oleh Djamal. Gerakan ini pun
nyatanya tidak bertahan untuk waktu yang lama. Usmar dan Djamal dengan segala
kekuatannya roboh secara perlahan-lahan, setelah usaha yang dilakukan tidak
banyak berpengaruh. Misbach Yusa Biran yang dikenal sebagai bapak sinematek
indonesia mengatakan, bahwa periode Usmar Ismail dibagi menjadi tiga. Pertama,
periode Usmar yang tidak berkompromi dengan komersilaitas. Kedua, periode Usmar
yang banyak melakukan kompromi karena bangkrut, namun tetap mempertimbangkan
prinsip awalnya. Dan terakhir, periode Usmar yang terseret-seret dalam dunia
film.
Dari
perbenturan masalah di atas, terbukti bahwa penciptaan film tidak bisa lepas
dari faktor modal. Berbeda dari seni lainnya, penciptaan film memerlukan materi
yang tidak sedikit. Uang berperan penting dalam kontinyuitasnya. Dengan
demikian, film tidak bisa dipisahkan dari segi industri. Dalam keadaan yang
menuntut itu , muncul berbagai dilema dalam karya seni jenis ini. Karena uang
harus kembali menghasilkan uang, bukan hanya tontonan semata, maka para
pegiatnya pun mulai menekan hasrat dalam karyanya, dan mengikuti pemilik modal,
yang biasanya ingin mendapatkan profit secepat mungkin. Jika sudah mengikuti arus
tersebut, orang yang jenius dalam bidangnya sekalipun akan berubah menjadi
bodoh karena apa yang telah ia kuasai disisingkan ke dalam ‘lemari’, umpamanya.
Pada
tahun 60-an pemerintah pun ikut berkontribusi dalam memajukan perfilman
indonesia. Hal itu dibuktikan dengan adanya kebijakan SK Menpen no.71/SK/M/1967
yang menetapkan bahwa setiap film impor wajib memberikan sumbangan sebesar
Rp.250.000 untuk mendanai produksi film nasional. Namun, materi pada
kenyataannya tidak pernah bisa menjamin kelancaran dari tujuan awal. Kebijakan
tersebut malah membuat permasalahan baru, yakni penurunan kualitas dari film
lokal karena berkejaran dengan jumlah produksi minimal dalam satu tahun.
Penurunan itu terjadi baik dari segi estetik, artistik, hingga kerangka cerita.
Walaupun
demikian, setiap usaha dalam rangka mencari kemajuan sedikit atau banyak pasti
memberikan kontribusi yang positif pula. Kegagalan-kegagalan yang dipaparkan di
atas merupakan babak yang berbeda dari sebelumnya. Ikhtiar yang telah dilakukan
oleh Usmar menjadi contoh, bahwa sineas lokal tidak perlu merasa inferior
dengan hadirnya film asing di tanah sendiri. Gerakan yang dibangun oleh Usmar
dan Djamal, serta kebijakan pemerintah ini pun pada kenyataannya memberikan
implikasi terhadap sineas-sineas lain pada waktu itu. Asrul Sani, Teguh Karya,
Nya Abbas Akup, Wim Umboh, Sjuman Jaya, Ami Prijono, Arifin C Noer adalah
beberapa nama yang hadir di pertengahan jalan gerakan tersebut. Mereka muncul
dengan gayanya masing-masing.