Aku ingin membeli..kamu ingin membeli
Kita ingin membeli...semua orang ingin membeli
Apa yang dibeli...mimpi yang terbeli...
Sebab harga barang tinggi..
Tiada pilihan selain mencuri..
Iwan fals menciptakan lagu itu
mungkin ketika mabuk. Ketika sekelilingnya tengah berubah menjadi toko mainan,
yang di kiri kananya ada seorang anak sedang mendorong kulit jeruk bali sebagai
pelipur lara. Tapi, toh lagu itu bisa mencuat. Sebab, kita pun merasa, bahwa apa
yang ada dalam lirik lagu itu, merupakan sebuah refleksi yang datang dari
keseharian. Kita berlomba-lomba untuk mencari uang, sedikit atau banyak, yang
akan habis juga kita pakai untuk keinginan-keinginan sementara. Keinginan untuk
hidup mewah, keinginan untuk hidup dihormati, dan keinginan untuk hidup yang pasti.
Tapi, sebuah kepastian di sini akan selalu diidentikkan dengan angka-angka. Semua saling menilai, mengukur, mencari-cari, mana
yang bisa menghasilkan nominal. Sampai akhirnya kita lupa, bahwa hidup adalah rangkuman
dari ketidakpastian. Di saat kita meyakini sesuatu pun, sebenarnya adalah
pembenaran, atau mungkin penawar bagi kecemasan-kecemasan kita yang amat sering
bertandang ke dalam pikiran kita.
Sastra, menjadi bagian dari hal-hal
yang tidak pasti tersebut. Orang-orang memandang, bahwa membaca sastra hanya
membuang waktu, tidak dapat menghasilkan sesuatu yang konkret. Sesuatu yang
dapat dibawa untuk dipamerkan kepada tetangga atau keluarga. Sebagai contoh,
saya yang berkuliah di jurusan Sastra Indonesia kerap dihantam dengan pertanyaan,
seperti: Kok, ngambil Sastra Indonesia, sih, nanti susah,lho, nyari kerjanya, gak
bisa dipake buat nyari uang. Dan senyum mungkin jawaban yang paling ampuh untuk
menghentikan pertanyaan-pertanyaan menjengkelkan tersebut.
Hidup tidak sepenuhnya jasmani yang dapat
dicukupi oleh materi. Ada rohani yang makin ke mari makin dilupakan eksistensinya.
Rohani yang kita tahu selama ini seperti barang antik, yang hanya dapat dibeli
oleh momen-momen tertentu saja. Tidak setiap waktu merubungi pikiran kita.
Padahal, rohani yang kita punya esensinya ialah dorongan untuk mewujudkan
kesadaran, terhadap apa pun itu. Dan tentunya, sadar untuk hal-hal yang baik.
Salah satu cara untuk mencukupi kebutuhan rohani ialah melalui sastra. Dari
sastra kita dapat membentuk karakter yang kuat, yang dapat memilah mana yang
baik dan benar, karena hidup bukan hanya urusan untuk bertahan siapa yang lebih
lama bernapas dan lebih banyak barang untuk dipajang. Memelajari sastra sama
dengan memelajari kehidupan. Di dalamnya terkandung nilai moral, estetika,
etika, dan perenungan-perenungan yang hakikatnya dibutuhkan oleh rohani
manusia.
Saat ini, kita sering mendengar
korupsi, pencurian, pembunuhan terjadi di mana-mana. Hal tersebut terjadi
karena proses dehumanisasi dan dekadensi dalam masyarakat . Ya, proses itu
terjadi karena orientasi kita dengan materi menjadi surplus sekarang ini. Moral
hanya menjadi wacana yang tidak ada habisnya kita perbincangkan, tanpa
penerapan. Kita kumpulkan uang sebanyak-banyaknya tanpa kenal batas. Harta
ditimbun, bagi orang-orang yang memiliki kekuasaan. Atau yang tidak memiliki
kekuasaan, bisa merampoknya ke orang-orang yang sedang lengah pada suatu waktu.
Anggapan mengenai materi ini yang sebenarnya harus kita tanggalkan.
Jika kita berkaca pada kondisi
sekarang ini, eksistensi sastra di Indonesia masih bergerilya. Komunitas-komunitas
belum mampu untuk menciptakan iklim yang ramah antara sastra dengan masyarakat
luas. Publik masih enggan atau mungkin ragu untuk mengenal sastra lebih dalam. Mereka
takut jika tidak dapat memahami atau mengkritisi suatu karya sastra. Mereka
juga masih beranggapan, bahwa sastra tidak dapat menghasilkan uang.
Komunitas-komunitas sastra tidak
sepenuhnya salah dalam hal di atas. Hanya saja, diperlukan pengenalan sastra
yang lebih intens ke masyarakat, bahwa sastra tidak seburuk apa yang
dibayangkan. Sastra memiliki fungsi, dan bukan sekadar sesuatu yang niskala.
Selain itu, dibutuhkan perluasan untuk ruang apresiasi. Karena pada dasarnya
setiap manusia ingin dihargai oleh sesamanya, maka apresiasi merupakan jantung
bagi kontinyuitas suatu karya. Acara-acara yang diadakan oleh DKJ, seperti
sayembara menulis, mesti dibuat kembali. Ruang kompetitif perlu dibentuk
sebagai upaya untuk memperteguh kebanggaan dan ketekunan berkarya. Selanjutnya,
acara-acara seni bisa dimasukkan dalam acara-acara urban, seperti kemarin
misalnya, pemerintahan Jokowi yang mengadakan pesta rakyat dan mengangkat
budaya-budaya betawi. Hasilnya, acara itu tidak seburuk apa yang kita kira.
Animo yang datang sangat besar. Inovasi lain juga bisa kita ciptakan melalui
tren sekarang ini. Permainan dan aplikasi di dalam gadget bisa kita gabungkan dengan hal-hal yang sifatnya budaya dan
seni. Game icon pop quiz yang menebak
wajah para tokoh dunia, bisa kita dekonstruksi menjadi wayang, gerakan tarian
dengan simbol-simbolnya. Memang, dibutuhkan pengorbanan untuk semua itu. Kita
tidak bisa mengemis perubahan dari pemerintah, yang tengah sibuk memikirkan
cicilan mobil atau rumahnya. Usaha-usaha untuk melestarikan budaya dan seni
perlu dimulai dengan independen. Pekerja seni jangan terlalu lama memetakan
masalah dan mencari solusi serta konklusinya, yang pada akhirnya memakan
seluruh energi. Realisasi itu sangat penting sekarang ini.
Mungkin, dengan mempelajari sastra
dan seni lain, kita bisa menghindar dari lirik lagu Iwan fals di bagian
akhirnya…
Hari-hari kita isi
hasutan
Hingga kita tak tau
diri sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar