Rabu, 13 Mei 2015

Tulisan Lama

Aku ingin membeli..kamu ingin membeli
Kita ingin membeli...semua orang ingin membeli
Apa yang dibeli...mimpi yang terbeli...
Sebab harga barang tinggi..
Tiada pilihan selain mencuri..

Iwan fals menciptakan lagu itu mungkin ketika mabuk. Ketika sekelilingnya tengah berubah menjadi toko mainan, yang di kiri kananya ada seorang anak sedang mendorong kulit jeruk bali sebagai pelipur lara. Tapi, toh lagu itu bisa mencuat. Sebab, kita pun merasa, bahwa apa yang ada dalam lirik lagu itu, merupakan sebuah refleksi yang datang dari keseharian. Kita berlomba-lomba untuk mencari uang, sedikit atau banyak, yang akan habis juga kita pakai untuk keinginan-keinginan sementara. Keinginan untuk hidup mewah, keinginan untuk hidup dihormati, dan keinginan untuk hidup yang pasti. Tapi, sebuah kepastian di sini akan selalu diidentikkan dengan angka-angka.  Semua saling menilai, mengukur, mencari-cari, mana yang bisa menghasilkan nominal. Sampai akhirnya kita lupa, bahwa hidup adalah rangkuman dari ketidakpastian. Di saat kita meyakini sesuatu pun, sebenarnya adalah pembenaran, atau mungkin penawar bagi kecemasan-kecemasan kita yang amat sering bertandang ke dalam pikiran kita.
Sastra, menjadi bagian dari hal-hal yang tidak pasti tersebut. Orang-orang memandang, bahwa membaca sastra hanya membuang waktu, tidak dapat menghasilkan sesuatu yang konkret. Sesuatu yang dapat dibawa untuk dipamerkan kepada tetangga atau keluarga. Sebagai contoh, saya yang berkuliah di jurusan Sastra Indonesia kerap dihantam dengan pertanyaan, seperti: Kok, ngambil Sastra Indonesia, sih, nanti susah,lho, nyari kerjanya, gak bisa dipake buat nyari uang. Dan senyum mungkin jawaban yang paling ampuh untuk menghentikan pertanyaan-pertanyaan menjengkelkan tersebut.
Hidup tidak sepenuhnya jasmani yang dapat dicukupi oleh materi. Ada rohani yang makin ke mari makin dilupakan eksistensinya. Rohani yang kita tahu selama ini seperti barang antik, yang hanya dapat dibeli oleh momen-momen tertentu saja. Tidak setiap waktu merubungi pikiran kita. Padahal, rohani yang kita punya esensinya ialah dorongan untuk mewujudkan kesadaran, terhadap apa pun itu. Dan tentunya, sadar untuk hal-hal yang baik. Salah satu cara untuk mencukupi kebutuhan rohani ialah melalui sastra. Dari sastra kita dapat membentuk karakter yang kuat, yang dapat memilah mana yang baik dan benar, karena hidup bukan hanya urusan untuk bertahan siapa yang lebih lama bernapas dan lebih banyak barang untuk dipajang. Memelajari sastra sama dengan memelajari kehidupan. Di dalamnya terkandung nilai moral, estetika, etika, dan perenungan-perenungan yang hakikatnya dibutuhkan oleh rohani manusia.
Saat ini, kita sering mendengar korupsi, pencurian, pembunuhan terjadi di mana-mana. Hal tersebut terjadi karena proses dehumanisasi dan dekadensi dalam masyarakat . Ya, proses itu terjadi karena orientasi kita dengan materi menjadi surplus sekarang ini. Moral hanya menjadi wacana yang tidak ada habisnya kita perbincangkan, tanpa penerapan. Kita kumpulkan uang sebanyak-banyaknya tanpa kenal batas. Harta ditimbun, bagi orang-orang yang memiliki kekuasaan. Atau yang tidak memiliki kekuasaan, bisa merampoknya ke orang-orang yang sedang lengah pada suatu waktu. Anggapan mengenai materi ini yang sebenarnya harus kita tanggalkan.
Jika kita berkaca pada kondisi sekarang ini, eksistensi sastra di Indonesia masih bergerilya. Komunitas-komunitas belum mampu untuk menciptakan iklim yang ramah antara sastra dengan masyarakat luas. Publik masih enggan atau mungkin ragu untuk mengenal sastra lebih dalam. Mereka takut jika tidak dapat memahami atau mengkritisi suatu karya sastra. Mereka juga masih beranggapan, bahwa sastra tidak dapat menghasilkan uang.
Komunitas-komunitas sastra tidak sepenuhnya salah dalam hal di atas. Hanya saja, diperlukan pengenalan sastra yang lebih intens ke masyarakat, bahwa sastra tidak seburuk apa yang dibayangkan. Sastra memiliki fungsi, dan bukan sekadar sesuatu yang niskala. Selain itu, dibutuhkan perluasan untuk ruang apresiasi. Karena pada dasarnya setiap manusia ingin dihargai oleh sesamanya, maka apresiasi merupakan jantung bagi kontinyuitas suatu karya. Acara-acara yang diadakan oleh DKJ, seperti sayembara menulis, mesti dibuat kembali. Ruang kompetitif perlu dibentuk sebagai upaya untuk memperteguh kebanggaan dan ketekunan berkarya. Selanjutnya, acara-acara seni bisa dimasukkan dalam acara-acara urban, seperti kemarin misalnya, pemerintahan Jokowi yang mengadakan pesta rakyat dan mengangkat budaya-budaya betawi. Hasilnya, acara itu tidak seburuk apa yang kita kira. Animo yang datang sangat besar. Inovasi lain juga bisa kita ciptakan melalui tren sekarang ini. Permainan dan aplikasi di dalam gadget bisa kita gabungkan dengan hal-hal yang sifatnya budaya dan seni. Game icon pop quiz yang menebak wajah para tokoh dunia, bisa kita dekonstruksi menjadi wayang, gerakan tarian dengan simbol-simbolnya. Memang, dibutuhkan pengorbanan untuk semua itu. Kita tidak bisa mengemis perubahan dari pemerintah, yang tengah sibuk memikirkan cicilan mobil atau rumahnya. Usaha-usaha untuk melestarikan budaya dan seni perlu dimulai dengan independen. Pekerja seni jangan terlalu lama memetakan masalah dan mencari solusi serta konklusinya, yang pada akhirnya memakan seluruh energi. Realisasi itu sangat penting sekarang ini.

Mungkin, dengan mempelajari sastra dan seni lain, kita bisa menghindar dari lirik lagu Iwan fals di bagian akhirnya…

Hari-hari kita isi hasutan
Hingga kita tak tau diri sendiri.


























Tidak ada komentar:

Posting Komentar